Wisata Surabaya
Tugu Pahlawan
Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi markah tanah Kota Surabaya.
Monumen ini setinggi 41,15 meter berbentuk lingga atau paku terbalik.
Tubuh monumen berbentuk lengkungan-lengkungan (Canalures) sebanyak 10
lengkungan, dan terbagi atas 11 ruas. Tinggi, ruas, dan canalures
mengandung makna tanggal 10, bulan 11, tahun 1945. Suatu tanggal
bersejarah, bukan hanya bagi penduduk Kota Surabaya, tetapi juga bagi
seluruh Rakyat Indonesia. Koordinat: 7,245808°LS 112,737785°BTTugu Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan pasukan Sekutu bersama Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia.
Monumen Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10 November mengenang peristiwa pada tahun 1945 ketika banyak pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan.
Monumen ini berada di tengah-tengah kota di Jalan Pahlawan Surabaya, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Tugu Pahlawan merupakan salah satu ikon Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Berdiri di atas tanah lapang seluas 1,3 hektar, dan secara administratif berada di wilayah Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya.
Ada dua pendapat mengenai siapa yang menjadi pemrakarsa, sekaligus arsitek monumen yang terletak di Jalan Pahlawan Surabaya ini. Menurut Gatot Barnowo, monumen ini diprakarsai oleh Doel Arnowo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Daerah Kota Besar Surabaya. Kemudian ia meminta Ir. Tan untuk merancang gambar monumen yang dimaksud, untuk selanjutnya diajukan kepada Presiden Soekarno.
Sedangkan menurut Ir. Soendjasmono, pemrakarsa monumen ini adalah Ir. Soekarno sendiri. Ide ini mendapat perhatian khusus dari Walikota Surabaya, Doel Arnowo. Untuk perencanaan dan gambarnya diserahkan kepada Ir. R. Soeratmoko, yang telah mengalahkan beberapa arsitektur lainnya dalam sayembara untuk pemilihan arsitek untuk membangun monumen ini.
Pada awalnya pekerjaan pembangunan Monumen Tugu Pahlawan ditangani Balai Kota Surabaya sendiri. Kemudian dilanjutkan oleh Indonesian Engineering Corporation, yang kemudian diteruskan oleh Pemborong Saroja. Monumen yang dibangun selama sepuluh bulan ini, diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1952.
Di bawah tanah lahan Tugu Pahlawan ini terdapat sebuah museum untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang berjuang di Surabaya, di museum ini juga terdapat foto-foto dokumentasi pembangunan Tugu Pahlawan. Museum ini diresmikan pada tanggal 19 Februari 2000 oleh Presiden K.H Abdurrahman Wahid.Pada tahun 1991-1996 dilakukan pembenahan kawasan Tugu Pahlawan dan Museum Perjuangan 10 November Surabaya yang dipimpin oleh arsitek Ir. Sugeng Gunadi, MLA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
JEMBATAN MERAH
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Keresidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an,
ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi.
Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan
Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan
jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.
MONUMEN KAPAL SELAM
Monumen Kapal Selam, atau disingkat Monkasel, adalah sebuah museum kapal selam yang terdapat di Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. Terletak di pusat kota, monumen ini sebenarnya merupakan kapal selam KRI Pasopati 410, salah satu armada Angkatan Laut Republik Indonesia buatan Uni Soviet tahun 1952. Kapal selam ini pernah dilibatkan dalam Pertempuran Laut Aru untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda.Kapal Selam ini kemudian dibawa ke darat dan dijadikan monumen untuk memperingati keberanian pahlawan Indonesia. Monumen ini berada di Jalan Pemuda, tepat di sebelah Plasa Surabaya. Selain itu di tempat ini juga terdapat sebuah pemutaran film, dimana di tampilkan proses peperangan yang terjadi di Laut Aru. Jika anda ingin mengunjungi tempat wisata ini anda juga akan ditemani oleh seorang pemandu lokal yang terdapat di sana
Ada cerita unik dibalik hadirnya monumen Kapal Selam ini. Pada suatu malam Pak Drajat Budiyanto yang merupakan mantan KKM KRI Pasopati 410 (buatan Rusia) ini dan juga mantan KKM KRI Cakra 401 (buatan Jerman Barat), bermimpi diperintahkan oleh KSAL pada waktu itu untuk membawa kapal selam ini melayari Kali Mas. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan. Beliau ditugaskan untuk memajang kapal selam di samping Surabaya Plaza. Caranya dengan memotong kapal selam ini menjadi beberapa bagian, kemudian diangkut ke darat, dan dirangkai dan disambung kembali menjadi kapal selam yang utuh.
PT HM Sampoerna atau Sampoerna, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia saat ini, didirikan oleh Liem Seeng Tee (1893–1956). Liem Seeng Tee adalah seorang imigran dari sebuah keluarga miskin di provinsi Fujian di Cina. Pada tahun 1898, tidak lama setelah ibunya meninggal, ia bersama ayah dan kakak perempuannya datang ke Indonesia untuk mencari iklim yang lebih bersahabat.
Namun ia harus dipisahkan dengan kakak perempuannya, karena sangat miskin, sehingga ayahnya harus rela anak perempuannya diadopsi sebuah keluarga di Singapura. Tak lama setelah tiba di Indonesia, ayahnya meninggal. Itu yang membuatnya harus mandiri sejak usia 5 tahun di negeri yang asing.
Kemudian Liem diangkat sebagai anak oleh sebuah keluarga di Bojonegoro, sebuah kota kecil dekat Surabaya, dan mulai belajar meracik tembakau yang kemudian dijualnya di stasiun kereta api. Pada usia 17 tahun, ia mulai bekerja mandiri dengan menjual rokok di dalam gerbong-gerbong kereta api.Pada tahun 1912, tidak lama setelah menikahi Siem Tjang Nio, dia menyewa sebuah warung kecil Tjantian di Surabaya. Mereka menjual berbagai bahan pokok dan produk tembakau. Selain itu, ia juga menjual tembakau dengan menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Surabaya. Dari awal yang sangat sederhana ini, perusahaan raksasa Sampoerna dimulai.
Pada tahun 1913, dia mendirikan Handel Maastchpaij Liem Seeng Tee yang kelak menjadi PT HM Sampoerna. Sampoerna terus berkembang menjadi perusahaan besar meski sempat mengalami beberapa masalah. Anda dapat melihat perkembangan sejarah Sampoerna dari warung kecil milik Liem Seeng Tee dan istri hingga menjadi perusahaan besar dengan mengunjungi House of Sampoerna.
Area seluas 1,5 hektar ini terdiri atas beberapa bangunan. Bangunan besar di tengah dan diapit dua bangunan kecil di kiri dan kanannya. Bangunan ini dididirkan pada tahun 1864 dan awalnya digunakan sebagai panti asuhan untuk anak yatim piatu laki-laki.
Pada tahun 1912, panti asuhan dipindahkan ke Jalan Embong Malang. Lalu pada tahun 1932 setelah cukup sukses, Liem Seeng Tee membeli bangunan ini sebagai pabrik rokok Sampoerna. Sejak itu, tempat ini dikenal sebagai Pabrik Taman Sampoerna.
Di bangunan utama yang besar, pada awalnya terdapat aula yang cukup luas. Oleh karena itu, atas ide istri Liem, aula tersebut dibuat menjadi gedung bioskop dengan nama Sampoerna Theater. Gedung bioskop ini dilengkapi dengan panggung berputar dan lantai buatan untuk efek khusus, sehingga membuatnya menjadi salah satu gedung theater terhebat pada masanya. Ir Soekarno sering menggunakan aula ini untuk mengobarkan semangat perjuangan pada masa penjajahan. Bahkan Charlie Chaplin pernah mengunjungi gedung bioskop itu.
Saat ini, bangunan utama dijadikan museum rokok House of Sampoerna. Saat memasuki bangunan ini, aroma cengkeh bisa tercium. Di ruang pertama dalam bangunan besar ini, Anda dapat melihat replika warung rokok yang pertama kali digunakan oleh Liem Seeng Tee untuk berjualan bahan pokok dan tembakau. Anda juga bisa menyaksikan sepeda tua miliki pendiri Sampoerna yang digunakan untuk berjualan rokok. Selain itu, terdapat berbagai barang pribadi seperti kebaya, sarung, dan furnitur tua milik pendiri Sampoerna.
Di bagian tengah bangunan utama, terdapat berbagai foto dari direktur dan komisaris Sampoerna. Selain itu terdapat berbagai koleksi rokok dan korek api yang dipamerkan di sini. Lalu di ruang paling belakang masih di bangunan utama, terdapat berbagai alat produksi rokok dari Sampoerna pada masa awal. Misalnya alat produksi rokok serta mesin cetak tua. Anda juga bisa melihat berbagai peralatan riset untuk pembuatan rokok dari departemen R&D pada masa itu.
Di bagian belakang bangunan utama, terdapat pabrik yang cukup luas untuk memproduksi rokok. Hingga saat ini, bangunan ini masih digunakan untuk memproduksi rokok Sampoerna yang cukup merakyat yaitu Dji Sam Soe dan diproses secara tradisional. Anda bisa menyaksikan proses pembuatan rokok di salah satu ruangan pabrik ini dari panggung di lantai 2 bangunan utama. Pabrik dibuka pada hari Senin hingga Sabtu dari jam 6 pagi hingga 3 sore. Ada 234 pekerja yang membuat produk tembakau di ruangan ini dengan latar belakang musik tradisional. Setiap pekerja mampu memproduksi 325 batang rokok per jam!Kemudian di bagian kanan dan kiri bangunan utama, terdapat bangunan yang lebih kecil. Kedua bangunan ini di sebut Rumah Barat dan Rumah Timur. Kedua rumah ini memiliki denah terbalik (seperti cermin). Dulunya, bangunan ini digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Sampoerna. Pendiri Sampoerna memiliki prinsip bahwa mereka sekeluarga harus tinggal di lokasi pabrik agar bisa mengendalikan bisnis dengan lebih efisien dan efektif. Selain itu, pendiri Sampoerna ingin mengajarkan anak-anak lelakinya untuk belajar berbisnis secara langsung.Sebagai tradisi, sejak saat itu hingga sekarang, keluarga Sampoerna masih menempati salah satu bangunan ini. Tepatnya di bangunan sebelah kiri bangunan utama atau Rumah Barat, masih ditempati oleh generasi berikutnya keluarga Sampoerna. Awalnya yang menempati adalah Liem Seeng Tee dan keluarga, kemudian ditempati oleh anaknya yaitu Aga Sampoerna dan saat ini ditempati oleh Putera Sampoerna bersama keluarganya. Di Rumah Barat juga terdapat sebuah mobil Rolls Royce buatan tahun 1972 yang diproduksi terbatas. Mobil ini miliki generasi kedua keluarga Sampoerna yang dibawa dari Singapura sehingga masih memiliki nomor plat SL 234. Rumah Barat karena masih ditempati keluarga Sampoerna, maka tidak dibuka untuk umum.Rumah Timur atau di sisi kanan bangunan utama, awalnya ditempati oleh Adi Sampoerna, anak pertama pendiri Sampoerna. Kemudian rumah ini sempat digunakan untuk berbagai fungsi termasuk kantor. Saat ini, rumah ini digunakan sebagai kafe. Di sini Anda bisa menikmati berbagai makanan dan minuman sambil menikmati sajian live music. Anda juga bisa menyaksikan berbagai even atau pameran yang diselenggarakan di sini.Meski rokok berbahaya untuk kesehatan (lihat artikel: bahaya rokok), namun tidak ada salahnya Anda mengunjungi museum yang terletak di lokasi kota tua Surabaya ini. Anda bisa belajar banyak hal dari cara berbisnis Liem Seeng Tee, pendiri Sampoerna, yang ulet. Selain itu, Anda bisa belajar sejarah salah satu pabrik rokok terbesar yang ada di Indonesia yaitu Sampoerna. House of Sampoera bisa menjadi salah satu tujuan wisata kota ketika Anda mengunjungi kota Surabaya.
Jam Buka:
Setiap: 09.00-22.00 WIB
Gratis untuk Umum
Alamat:
Taman Sampoerna 6
Surabaya
Jawa Timur
60163
Telp: (031) 353 9000
KYA - KYA
Kembang Jepun dulunya adalah kawasan bisnis utama dan pusat kota Surabaya. Walaupun bukan menjadi yang utama, kawasan ini tetap menjadi salah satu sentra bisnis hingga saat ini. Kawasan ini terkenal sebagai pusat perdagangan grosir, yang kemudian dikenal sebagai CBD (central business district) I Kota Surabaya.
Kembang Jepun mempunyai sejarah panjang, sepanjang perjalanan Kota Surabaya. Perjalanannya penuh dengan rona-rona, sesuai warna yang dilukiskan zamannya. Sejak zaman Sriwijaya, kawasan di sekitar Kembang Jepun menjadi tempat bermacam bangsa tinggal.
Banyak pedagang asing yang menambatkan kapal-kapalnya di lokasi dimana kemudian menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun. Tegak lurus dengan Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil membawa perannya.
Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa Kecil".
Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis. Pada zaman pendudukan Jepang lah nama Kembang Jepun menjadi terkenal, ketika banyak serdadu Jepang (Jepun) memiliki teman-teman wanita (kembang) di sekitar daerah ini. Pada era dimana banyak pedagang Tionghoa menjadi bagian dari napas dinamika Kembang Jepun, sebuah Gerbang kawasan yang bernuansa arsitektur Tionghoa pernah dibangun di sini. Banyak fasilitas hiburan didirikan, bahkan ada yang masih bertahan hingga kini, seperti Restoran Kiet Wan Kie.
Pemerintah Kota Surabaya pernah berkeinginan untuk menjadikan kawasan Kembang Jepun menjadi semacam Malioboro tidak mendapat respons yang baik dari para pedagang kaki lima (PKL), bahkan oleh masyarakat Kota Surabaya sendiri. Akhirnya, kawasan ini mati kembali di malam hari, gelap gulita dan rawan kejahatan. Berbeda dengan keadaan siang hari yang sangat dinamis.
Melihat banyaknya ikon kota yang pelan-pelan meredup mati dan ditinggalkan warganya, muncullah ide untuk segera menyelamatkannya. Studi dan perencanaan awal hanya dilakukan 2 minggu, namun tidak mengurangi kualitas perancangan itu sendiri dengan melakukan studi lapangan dan studi literatur, diskusi dengan pemerintah kota, warga setempat, komunitas pedagang kaki lima bahkan studi banding ke luar negeri (Chinatown di Singapura). Studi-studi dan pelaksanaan dilakukan bersama-sama dengan tim eksklusif di bawah pimpinan Wali Kota Surabaya Bambang D. Hartono, demikian juga dengan pihak DPRD Surabaya di bawah pimpinan Armuji, dan PT Kya-Kya Kembang Jepun di bawah pimpinan Dahlan Iskan.
Pusat Kya-kya ini akhirnya dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, 500 meja makan dengan memperhatikan studi keamanan. Selain itu, studi perilaku warga Kota Surabaya, studi parkir dan transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis, teknis, sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan sebagainya secara terpadu.
Kya-Kya Surabaya akhirnya berhasil diwujudkan. Secara resmi Kya-Kya Surabaya dibuka pertama kali pada tanggal 31 Mei 2003, bertepatan dengan hari ulang tahun kota Surabaya.
Lokasi Kya-kya Kembang Jepun tidak ada duanya ketika kawasan ini sarat dengan malam budaya, maka tatkala arsiteknya pun membawa the spirit of place, suguhan arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Pementasan budaya yang berkualitas pun disuguhkan seperti festival ngamen, suguhan musik keroncong, musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Sedangkan, acara-acara tematik digelar seperti Shanghai Night, Dancing on the Street, Agoestoesan Tjap Kya-kya Kembang Djepoen serta Mystical Night, Festival Bulan Purnama dan sebagainya.
JEMBATAN SURAMADU
Jembatan Nasional Suramadu adalah jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa (di Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan, tepatnya timur Kamal), Indonesia.
Dengan panjang 5.438 m, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di
Indonesia saat ini. Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge).Jembatan ini diresmikan awal pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 dan diresmikan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009. Pembangunan jembatan ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura, yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan lain di Jawa Timur. Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini adalah 4,5 triliun rupiah.
Pembuatan jembatan ini dilakukan dari tiga sisi, baik sisi Bangkalan maupun sisi Surabaya. Sementara itu, secara bersamaan juga dilakukan pembangunan bentang tengah yang terdiri dari main bridge dan approach bridge.Jembatan Suramadu pada dasarnya merupakan gabungan dari tiga jenis jembatan dengan panjang keseluruhan sepanjang 5.438 meter dengan lebar kurang lebih 30 meter. Jembatan ini menyediakan empat lajur dua arah selebar 3,5 meter dengan dua lajur darurat selebar 2,75 meter. Jembatan ini juga menyediakan lajur khusus bagi pengendara sepeda motor disetiap sisi luar jembatan.
Jalan layang atau Causeway dibangun untuk menghubungkan konstruksi jembatan dengan jalan darat melalui perairan dangkal di kedua sisi. Jalan layang ini terdiri dari 36 bentang sepanjang 1.458 meter pada sisi Surabaya dan 45 bentang sepanjang 1.818 meter pada sisi Madura.
Jalan layang ini menggunakan konstruksi penyangga PCI dengan panjang 40 meter tiap bentang yang disangga pondasi pipa baja berdiameter 60 cm.
Jembatan penghubung atau approach bridge menghubungkan jembatan utama dengan jalan layang. Jembatan terdiri dari dua bagian dengan panjang masing-masing 672 meter.
Jembatan ini menggunakan konstruksi penyangga beton kotak sepanjang 80 meter tiap bentang dengan 7 bentang tiap sisi yang ditopang pondasi penopang berdiameter 180 cm.
Jembatan utama atau main bridge terdiri dari tiga bagian yaitu dua bentang samping sepanjang 192 meter dan satu bentang utama sepanjang 434 meter.
Jembatan utama menggunakan konstruksi cable stayed yang ditopang oleh menara kembar setinggi 140 meter. Lantai jembatan menggunakan konstruksi komposit setebal 2,4 meter.
Untuk mengakomodasi pelayaran kapal laut yang melintasi Selat Madura, jembatan ini memberikan ruang bebas setinggi 35 meter dari permukaan laut. Pada bagian inilah yang menyebabkan pembangunannya menjadi sulit dan terhambat, dan juga menyebabkan biaya pembangunannya membengkak.Dengan adanya pembangunan jembatan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan pemerataan pendapatan di wilayah surabaya ke wilayah madura, begitu pula dengan kependudukan, mengingat wilayah surabaya yang semakin padat dengan penduduk yang melakukan urbanisasi yang sebagian besar berasal dari wilayah madura, pemerintah berharap dengan adanya pemerataan ekonomi ini dapat menekan laju urbanisasi tersebut.
Gerbang Tol | KM | Tujuan |
---|---|---|
Surabaya | 0,0 | Jembatan Nasional Suramadu (arah Madura) |
Madura | 5,4 | Jembatan Nasional Suramadu (arah Surabaya) |
BENTENG KEDUNG COWEK
Benteng tersebut berada di daerah Kedung Cowek-Surabaya. Karena itu,
kawasan tempat benteng ini berada disebut dengan nama Benteng Kedung
Cowek. Ada juga yang menyebutnya Benteng Gudang Peluru karena dulu
benteng-benteng yang ada di sana digunakan sebagai tempat menyimpan
peluru.Sayangnya, tidak banyak yang wisatawan yang mengetahui keberadaan benteng tersebut. Selain lokasinya yang berada di kawasan yang mirip hutan, kawasan itu juga tertutup untuk umum. Bahkan untuk berkunjung kesana diharuskan menggunakan sepatu dan celana panjang untuk menghindari gigitan ular dan sengatan binatang berbisa yang masih banyak. Karena berada dalam pengawasan militer, pengunjung harus melaporkan tujuannya kesana pada petugas tentara yang berjaga di Benteng Kedung Cowek.
Di benteng kuno itu terdapat beberapa bangunan yang sudah dibersihkan dan bisa dimasuki. Ada juga benteng yang masih kotor dan belum dibersihkan sehingga hanya bisa dilihat dari kejauhan saja. Di benteng itu ada yang memiliki ruangan-ruangan kosong dengan lubang kecil untuk ventilasi dan pengintaian musuh. Ada juga terdapat bangunan cor yang berbentuk setengah lingkaran yang dulu digunakan sebagai landasan tank atau meriam.
Dari benteng tersebut bisa terlihat pula panorama laut Surabaya. Jembatan Suramadu juga terlihat jelas dari benteng itu. Kisah sejarah dari benteng yang biasa disebut Benteng Gudang Peluru ini juga mengagumkan. Dalam sejarahnya, setelah Jepang menyerah, benteng-benteng tersebut masih utuh. Sejumlah meriam yang besar dilindungi oleh beton yang tebal dan kokoh dimaksudkan untuk menghadapi kapal musuh yang mendekati pelabuhan dan pantai Surabaya.
Belanda tak sempat menembakkan satu peluru pun pada waktu pasukan matahari terbit itu menyerang dan kemudian menduduki wilayah jajahan Belanda, termasuk Pulau Jawa. Tentara Jepang kemudian menambah persenjataan dan memperkuat perlindungan. Namun, Jepang pun tak sempat memanfaatkan benteng-benteng itu, sehingga lokasi pertahanan yang kokoh dan lengkap dengan persenjataannya boleh dikatakan jatuh secara utuh ke tangan Republik Idonesia yang baru diproklamasikan.
Di sinilah anggota pasukan Sriwijaya yang terlatih dan mempunyai pengalaman tempur ditempatkan. Sebab itu, pada waktu kapal perang Inggris menembaki Kota Surabaya, pihak Inggris sangat terkejut melihat perlawanan dari arah benteng-benteng di Kedung Cowek ke pangkalan mereka di kawasan Ujung Dermaga.Dari kualitas tembakan yang bisa menjangkau sasaran sejauh sekitar 4 km, Inggris menyangka yang melayani meriam-meriam itu adalah anggota tentara Jepang yang tidak tunduk pada perintah Sekutu. Sehingga perlawanan itu disangka sebagai tindakan penjahat-penjahat perang (war criminals).
Di kemudian hari, dari sejumlah orang Indonesia yang ada di pasukan Inggris itu, terungkap Inggris tidak memperhitungkan kalau pihak Indonesia memiliki anggota pasukan berkemampuan melayani meriam-meriam berat di benteng-benteng Kedung Cowek. Akhirnya, sepanjang pertempuran 3 hari di penghujung Oktober 1945 dan dalam pertempuran mempertahankan Surabaya yang berlangdung sejak 10 November 1945, diperkirakan lebih dari sepertiga pasukan Sriwijaya tewas. Sebagian besar dari mereka tewas di benteng-benteng Kedung Cowek. Banyak jenazah mereka yang tidak sempat dikuburkan karena perang berkecamuk cukup panjang. (Moch Humaidy/Mar)
Moch Humaidy adalah pewarta warga yang tinggal di Jalan Jetis Kulon, gang 8 no.9, Wonokromo, Surabaya.
GEDUNG APERDI(PENJARA KALI SOSOK)
Gedung Aperdi ‘ditemukan’ ketika kendaraan yang saya tumpangi lewat di
Jl Jembatan Merah Surabaya, dan dengan seketika saya pun meminta supir
untuk berhenti dan kemudian turun dari kendaraan ketika melihat deretan
gedung tua di sebelah kanan jalan. Bahwa
bangunan menarik itu adalah Gedung Aperdi baru saya ketahui setelah
melihat sebuah tulisan di atas salah satu pintunya yang tertutup rapat.
Aperdi adalah nama sebuah perusahaan yang menempati lantai satu gedung
itu.menambah daftar gedung tua terlantar di Surabaya, setelah sebelumnya saya berkunjung ke bekas gedung Penjara Kalisosok yang juga masih terbengkalai.
Sayang sekali saya tidak bisa masuk ke dalam Gedung Aperdi yang
dibangun pada 1901 ini dan pada jaman kolonial dipakai sebagai kantor Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente
(Perusahaan Umum Pertanggungan Jiwa dan Anuitas Jiwa), sebuah
perusahaan asuransi jiwa terbesar di Belanda yang didirikan pada 1880
namun bangkrut pada 1921.pada lantai dua dengan sepasang jendela kaca di atas sebuah lukisan
keramik, juga pada menara pendek di atas dan kiri kanan wuwungan sebagai
sumber masuknya cahaya matahari ke dalam gedung. Sebuah tiang tanpa
bendera masih tegak menjulang di tengah-tengah.
Dua pasang lubang lengkung simetris pada dinding luar menghias kiri kanan bangunan dengan susunan bata konsentrik pada lengkung busurnya, serta terdapat selasar dibelakangnya yang memberi ruang lindung bagi dinding dan pintu bangunan utama dari cahaya matahari langsung serta tempias hujan tropis.dengan lukisan pada porselen karya Jan Toorop, seorang desainer grafis dan ilustrator, pelukis art nouveau, simbolis dan impressionis, yang lahir 20 Desember 1858 di Purworejo dan meninggal di Den Haag pada 3 Maret 1928.
Jan Toorop berkebangsaan Belanda, meskipun lahir dari seorang ayah berdarah Jawa dan seorang Ibu berdarah Inggris. Ia lahir dengan nama Jean Theodoor Toorop. Keluarga Toorop pindah ke Bangka pada 1863, dan pada 1869 Jan Toorop meninggalkan Indonesia menuju Belanda dimana ia masuk sekolah menengah di Leiden. Ia berganti nama menjadi Johannes ketika berpindah agama dari Protestan ke Roman Katolik pada 1905.
Tidak diketahui kapan lukisan ini dibuat, namun Jan Toorop pernah tinggal untuk kedua kalinya di Katwijk pada 1899 – 1904, di rumah yang didirikan oleh arsitek terkenal Hendrik Petrus Berlage (Amsterdam 21 Februari 1856 — Den Haag 12 August 1934), yang adalah juga arsitek Gedung Aperdi. Agaknya mereka bertemu pada periode ketika Hendrik Berlage merancang gedung untuk Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente ini yang membuat karya Jan Toorop dipasang pada gedung.
Lukisan itu menggambarkan wanita mistis yang duduk di tengah dengan tangan dan sayap mengembang dan garis pada dada membentuk huruf A (mungkin inisial Algameene). Sementara di sebelah kanannya seorang wanita berpakaian Eropa tengah mengangkat bayi berambut pirang, dan di sebelah kirinya lukisan wanita bersanggul dengan pakaian puteri Jawa berkain batik tengah menimang bayi berambut hitam.
Di kiri kanan wanita bersayap itu terdapat bulatan ungu masing-masing berjumlah tujuh, dan empat jam pasir di bawah kakinya. Jam pasir di paling kiri ‘mengisi’ ke bawah, sedangkan jam pasir di paling kanan ‘membuang’ ke bawah, melambangkan kisah 7 tahun masa panen dan 7 tahun masa paceklik dalam kitab suci. Sebuah perlambang agar orang menabung (dalam bentuk asuransi) untuk simpanan pada masa sulit.pada tiga gerbang lengkung di lantai satu, dengan bagian tengah berukuran lebih kecil merupakan pintu utama yang dijaga sepasang singa bersayap. Pada ketiga lengkung juga dipasang susunan batu bata konsentris berwarna merah sebanyak empat baris.
Pada buku “Budaya Visual Indonesia” yang ditulis Agus Sachari dari Fakultas Desain dan Seni Rupa ITB, disebutkan bahwa Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente adalah karya pertama Hendrik Berlage di Hindia Belanda yang dikerjakannya pada 1900, baru kemudian ia membuat desain gedung de Nederlanden van 1845 yang berada di Jl Pintu Besar Utara, Jakarta. Disebutkannya bahwa Berlagen juga menjadi konsultan pemerintah Hindia Belanda dalam proyek restorasi Candi Prambanan.
Berlagen sendiri baru datang ke Indonesia pada 1923, dan berkeliling selama 3 bulan memberi ceramah arsitektur serta mengikuti berbagai acara. Pada 1931 terbit bukunya yang berjudul “Myn Indische Reis” (Perjalananku ke Hindia). Ketika menghadiri perayaan ulang tahun Ratu Juliana di kediaman resmi Residen Priangan (Gedung Pakuan Bandung sekarang) pada 30 April 1923, Dr. Berlage merasa sangat terkesan sekaligus trenyuh menyaksikan pawai rakyat Priangan yang sangat meriah untuk Ratu Belanda, sehingga membuatnya berucap: “Bangsa dan negeri ini harus mencapai kemerdekaan”.dengan sepasang singa bersayap di depan pintu masuk utama. Tidak diketahui siapa pembuatnya, namun fungsinya tampaknya seperti Dwarapala pada candi, atau Ciok-say pada kelenteng, yaitu sebagai penjaga. Ada yang menyebut bahwa singa bersaya merupakan satu dari empat binatang buas dalam bible yang disebut Minute Lion. Singa bersayap juga digunakan sebagai lambang Venesia dan simbol St Mark.
GEDUNG SIOLA
Sejak Abad ke 20, jalan tunjungan merupakan pusat
pertokaan dan restoran yang memenuhi gaya hidup kalangan borjuis dari
bangsa Belanda saat itu. Bahasa gaul anak-anak muda sekarang adalah
tempat nongkrong untuk kalangan atas. Salah satu pertokaan yang ada
adalah White Laidlaw. Pertokoan ini didirikan oleh pengusahan Inggris
dengan mengambil konsep pertokoan yang menawarkan kebutuhan fashion yang
lagi nge trend saat itu.
Gaung ketenaran toko ini tetap terjaga walaupun pada
pergantian penjajahan di tahun 1943 dari bangsa belanda ke bangsa
jepang. Pada masa penjajahan jepang pertokoan di ambil alih oleh
pengusaha jepang dan diberinama Chiyoda ( yang saat ini terkenal dengan
nama merk lampu.
Pada masa pertempuran perebutan kembali kota surabaya
oleh arek-arek surabaya dari tangan sekutu yaitu sejak bulan oktober
dan november 1945, jalan tunjungan menjadi salah satu pertempuran dasyat
tersebut. Hal ini ditandai dengan di tandai penyobekan warna biru dari
bendera belandan menjadi bendera bangsa indonesia yaitu merah putih di
hotel Yamato atau orange atau sekarang menjadi hotel mojopahit ( nanti
ada sendiri menceritakan hotel yamato ini). Gedung chiyoda ikut terbakar
walaupun tidak keseluruhan.
Hampir beberapa tahun gedung chiyoda dibiarkan tak
terurus istilah surabayanya adalah “mangkrak” di pojokan jalan
tunjungan. Sekitar akhir 70 dan awal tahun 80 gedung ini diperbaiki
kembali dan kejayaannya mulai di munculkan kembali dengan diberi nama
SIOLA. Konsep yang ditawarkan konsep penjualan yang sama dengan konsep
penjualan Mall. Jadi SIOLA bukan terdiri dari toko-toko tapi satu Mall
yang menjual lengkap kebutuhan masyarakt surabaya. Saat itu surabaya
hanya mengenal konsep jual beli pasar tradisonal. Hadirnya konsep jual
beli yang ditawarkan oleh SIOLA membuat kejayaan sejarah gedung ini
kembali terulang. “ingin nuansa baru n modern dalam berbelanja,
datanglah ke SIOLA” he..he.. ya.. seperti itulah image SIOLA saat itu.“Suatu keberhasilan seseorang pasti akan ada penerus atau peniru untuk
mencapai keberhasilan” Ya.. itulah sifat alami manusai untuk mencari
keuntungan tanpa harus memikir membuat sesuatu yang baru. Pada awal
tahun 90′an SIOLA mendapat saingan baru yang bermunculan satu per satu
dengan konsep yang sama dan penawaran yang lebih menarik. Kejayaan SIOLA
meluai redup dan akhirnya bangkrut. Sekitar tahun 2000′an SIOLA diganti
dengan Ramayana, akan tetapi istilaha SIOLA tetap ada dalam hati arek
surabaya, sehingga gak ada jalan tunjungan tanpan SIOLA, sehingga secara
tidak disadari SIOLA telah menjadi landmark jalan tunjungan.
Pada abad ke 15 pada masa Dinasti Ming (1368-1643) orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain itu dia juga sebagai utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit yang juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal 13 Oktober 2002 diresmikan Masjid dengan arsitektur Tiongkok ini.
Masjid Muhammad Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri di atas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran Ka'bah saat baru dibangun, angka 9 melambangkan Wali Songo dan angka 8 melambangkan Pat Kwa (keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).
Perpaduan Gaya Tiongkok dan Arab memang menjadi ciri khas masjid ini. Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari Bojonegoro.
Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena krisis moneter pembangunannya dihentikan sementara waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan selesai tahun 2001. Pada 10 November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid.
Secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.
Rancang bangun arsitektur MAS dikerjakan oleh tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bersama konsultan ahli yang telah berpengalaman membangun masjid-masjid besar di Indonesia. Mengingat posisi lahan yang labil dengan tingkat kekerasan yang minim, maka pembuatan pondasi dilakukan dengan system pondasi dalam atau pakubumi. Tidak kurang dari 2000 tiang pancang bagi pondasi masjid ini.
Lantai dirancang dengan ketinggian 3 meter dari permukaan jalan sekitar lokasi. Namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami perubahan, ruang urugan dijadikan basement, lantai diatas basement (lantai 1) disangga dengan tiang-tiang (sistem flooting floor). Pengerjaan lantai dibuat dengan sistem pengecoran ditempat dan beton precast, terdiri dari plat lantai empat persegi panjang berukuran 3 x 3 meter dan tebal 15 cm.
Untuk dudukan struktur atap disiapkan, balok beton (ringbalk) dengan sistem vierendeel yang menghubungkan kolom-kolom struktur pada ketinggian 20 m dari atas lantai dasar (lantai 1). Ringbalk ini membentang 30 m tanpa kolom, sehingga bidang lantai tidak terpisah oleh sekat maupun kolom, dengan demikian dijamin bahwa jamaah tidak saling terpisah oleh sekat maupun kolom pada waktu sholat.
Rangka kubah dibuat dengan sistem space frame, menggunakan bahan besi baja dengan sistem chremona atau struktur segitiga yang disambung-sambung. Selanjutnya kubah dibentuk di atas rangka atap dengan bentangan utama berukuran 54 x 54 meter, tanpa ada tiang penyangga. Bobot kubah tersebut hampir mencapai 200 ton. Keunikan bentuk kubah ini ditunjang dengan bentuk kubah yang menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer memiliki tinggi sekitar 27 meter. Kubah ini menumpu pada atap piramida terpancung dalam 2 layer setinggi kurang lebih 11 meter.
Penutup struktur rangka atap dan kubah terdiri dari tiga lapis yaitu Atap Kedap Air (AKA), ESP sebagai cover atap terluar, dan penutup plafon. AKA ini adalah dalam bentuk segmen-segmen yang menumpu pada konstruksi space frame yang ada dibawahnya. Sedangkan ESP adalah Enamel Sheet Panel merupakan plat baja yang dicoating atau diwarnai, kemudian dipanaskan hingga 800 derajat Celcius, selanjutnya plat dipotong-potong dengan ukuran tertentu dan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan ukurannya yang pada akhirnya berfungsi sebagai cover penutup atap. ESP ini didesain khusus untuk atap Masjid Nasional Al Akbar Surabaya dengan kemampuan tahan panas dan hujan serta tahan karat, diharapkan akan mampu berfungsi sampai 50 tahun lebih. Kemudian penutup rangka bawah yang berfungsi sebagai plafon ditutup dengan bahan kedap suara, sehingga akustik pada bangunan ini didesain dengan sangat memadai. Kesemuanya elemen penutup rangka atap tersebut telah teradopsi dari Masjid Raya Selangor di Syah Alam, Malaysia.
Masjid ini memiliki 45 pintu dengan daun pintu (bukaan) ganda yang berarti dibutuhkan 90 daun pintu dengan ukuran masing-masing : lebar 1,5 m dan tinggi 4,5 m. Pintu terbuat dari kayu jati yang didatangkan khusus dari Perhutani dan dibuat oleh para pengrajin dari Surabaya. Kusen terbuat dari rangka besi dilapisi kayu yang dihubungkan ke engsel maupun slot yang telah diselaraskan dengan struktur dan estetika masjid. Karena berat daun pintu ini lebih dari 250 kg, maka engsel didesain dan dibuat secara khusus.
Untuk memenuhi kenyamanan, estetika serta keserasian keseluruhan bangunan masjid, maka marmer dari Lampung dipilih untuk pelapis dinding dan lantai ruang dalam masjid, sehingga dukungan dari lantai terasa sekali ruangan menjadi sejuk dan kusuk. Kaligrafi merupakan unsur penting dalam desain masjid ini, karena sentuhan kaligrafi inilah yang memberi sentuhan nuansa Islami. Bahan yang digunakan untuk kaligrafi tersebut terbuat dari kayu jati dengan finishing cat sistem ducco. Sedangkan perancangnya adalah seorang ahli kaligrafi nasional yaitu Bapak Faiz dari Bangil. Mimbar dibuat dengan ketinggian 3 meter untuk mendukung kemantapan khotbah. Agar tercipta suasana khas, mimbar diberi sentuhan etnis dengan hiasan ornamen Madura yang digarap para pengrajin dari Madura.Dalam rancangannya menara tadinya berjumlah 6 buah, namun karena pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis maupun biaya, maka menara hanya dibuat satu. Untuk membangun menara masjid ini digunakan teknologi Slip Form dari Singapura yang memerlukan waktu sekitar 2 bulan dalam pengecorannya. Menara ini memiliki ketinggian 99 meter yang puncaknya dilengkapi dengan view tower pada ketinggian 68 meter yang dapat memuat sekitar 30 orang dan pencapainnya dengan menggunakan lift untuk melihat pemandangan kota Surabaya.
Aula dibangun dengan konsep kesatuan antara estetika lingkungan dan fungsi plaza sebagai lapangan ibadah, untuk ibadah tertentu seperti sholat Ied dan lain-lain. Luas plaza kurang lebih 520 m2, dengan bahan lantai paving stone, yang didesain khusus untuk Masjid Nasional Al Akbar Surabaya, motif desain dibuat sesuai dengan ornamen arsitektur masjid, garis motif dibuat sejajar dengan garis shaf di halaman masjid.
Elemen arsitektur MAS juga didesain sedemikian rupa, untuk mencapai keindahan, kemewahan serta keanggunan. Antara lain elemen hiasan kaca patri (steined glass). Hiasan kaca patri yang digunakan masjid ini dibuat dengan sistem triple glazed unit. Yaitu pelapisan panel kaca patri atau panel bevel dengan kaca tempered yang menggunakan bahan dan mesin-mesin buatan Amerika. Triple glazed unit ini selain menghemat biaya, juga sangat baik untuk keperluan peredam suara bising.
Pada saat ini lambang bambu runcing banyak digunakan oleh berbagai daerah di Indonesia untuk melambangkan keberanian dan pengorbanan dalam meraih kemerdekaan.
Salah satu tokohnya yaitu K.H. Subchi dari Parakan, Temanggung yang dikenal dengan gelar Jenderal Bambu Runcing. Ia sebagai penasehat BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang kemudian dikenal menjadi Barisan Bambu Runcing.
Pencetus gerakan perjuangan dengan senjata bambu runcing, dalam pengertian sebagai senjata perjuangan yang bersifat massal dan nasional, sampai saat ini memang belumlah sangat jelas. Senjata Bambu Runcing pernah di pakai latihan ketentaraan Seinendan pada zaman Jepang. Tetapi khusus penggunaan senjata Bambu Runcing dengan doa, pengisian tenaga dalam, memang hal ini secara tegas dapat dikatakan, di mulai dai Parakan, Temanggung. Siapa para kiai yang terlibat ada beragam pandangan. Namun semua mengerucut kepada tokoh penting di Parakan yakni K.H. Subkhi (Subuki) dan K.H.R Sumo Gunardo, dan para kiai lain di Parakan dan Temanggung seperti K.H. M Ali (pengasuh pesantren tertua di Parakan), K.H. Abdurrahman, K.H. Nawawi, K.H. Istakhori dan kelanjutannya juga KH. Mandzur dari Temanggung dan berbagai kiai di NU Temangggung, khususnya MWC Parakan.
Senjata Bambu Runcing digunakan sebagai alat perjuangan, berangkat dari ketiadaan, kekurangan peralatan perang yang tersedia, sementara perjuangan harus dilanjutkan terutama setelah Indonesia merdeka. Musuh Indonesia setelah proklamasi menjadi sangat banyak dan dengan kekuatan besar, Jepang yang masih bercokol, Belanda yang ingin menguasai lagi dan Sekutu yang juga akan menjajah menggantikan Jepang dan Belanda. Maka praktis, keperluan persenjataan yang di butuhkan. Bambu Runcing dan peralatan tradisional lain menjadi alternatif, murah dan bersifat massal. Kekuatan doa menjadi faktor utama kekuatan alat-alat tradisional tersebut.
Ternyata dalam realitas sejarah, perjuangan dengan menggunakan senjata bambu runcing, terjadi pada hampir semua medan perang. Lasykar-lasykar rakyat BKR, AMRI, Hizbullah, Sabilillah dan sebagainya yang terlibat pada pertempuran di berbagai peristiwa, menggunakan senjata Bambu Runcing sebagai senjata utama, sebelum mereka mampu merebut senjata musuh.
Peninggalan-peninggalan sejarah Bambu Runcing khusus yang berhubungan dengan Bambu Runcing Parakan bisa dilacak ke tempat, atau para kiai yang pernah terlibat dalam berbagai peristiwa Bambu Runcing. Sampai sekarang Rumah KH. Subkhi masih berdiri dan berbagai peninggalannya, Rumah KH. R Sumo Gunardo masih adan juga beberapa peninggalanya, ada yang di Museum Monjali (Monumen Jogja Kembali), Pondok Pesantren KH. M. Ali sampai sekarang masih berdiri dan terus berkembang. Bekas kantor BMT dan pusat penyepuhan walaupun telah berubah, namun jejak-jejaknya masih ada. Dan khusus sumur yang sering di ambil airnya untuk penyepuhan Bambu Runcing juga masih ada. Khusus di Temanggung bahkan tempat Kiai Mandzur di kenal dengan Mujahidin, samapi sekarang menjadi pusat kegiatan Tarekat.
Perjuangan bersenjata yang melibatkan senjata Bambu Runcing oleh berbagai lasykar rakyat dalam perjuangan kemerdekaan sangat jelas dan nyata. Bahkan selama masa setelah Proklamasi Kemerdekaan dengan musuh utama Jepang, Belanda dan Sekutu, di mana pada saat itu bangsa Indonesia belum memiliki cukup senjata, maka Bambu Runcing menjadi senjata massal rakyat Indonesia. Kepemlikan senjata modern oleh rakyat, setelah mampu merebut dari senjata musuh terutama dari Jepang yang telah menyerah.
Surabaya
GPS -7.23729, 112.74393
MASJID CHENG HO
Masjid Cheng Hoo Surabaya adalah Masjid bernuansa Muslim Tionghoa yang berlokasi di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya atau 1.000 m utara Gedung Balaikota Surabaya. Masjid ini didirikan atas prakarsa para sespuh, penasehat, pengurus PITI,
dan pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur serta
tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya. Pembangunan masjid ini diawali
dengan peletakkan batu pertama 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pembangunannya baru dilaksanakan 10 Maret 2002 dan baru diresmikan pada 13 Oktober 2002.
Masjid Cheng Ho, atau juga dikenal dengan nama Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya, ialah bangunan masjid
yang menyerupai kelenteng (rumah ibadah umat Tri Dharma). Gedung ini
terletak di areal komplek gedung serba guna PITI (Pembina Imam Tauhid
Islam) Jawa Timur Jalan Gading No.2 (Belakang Taman Makam Pahlawan
Kusuma Bangsa), Surabaya. Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah
dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di sisi kiri bangunan terdapat
sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan masjid.Selain Surabaya di
Palembang juga telah ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Ho Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya Palembang.
Nama masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada Cheng Ho, Laksamana
asal Cina yang beragama Islam. Dalam perjalanannya di kawasan Asia
Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan menjalin persahabatan, juga
menyebarkan agama Islam.Pada abad ke 15 pada masa Dinasti Ming (1368-1643) orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain itu dia juga sebagai utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit yang juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal 13 Oktober 2002 diresmikan Masjid dengan arsitektur Tiongkok ini.
Masjid Muhammad Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri di atas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran Ka'bah saat baru dibangun, angka 9 melambangkan Wali Songo dan angka 8 melambangkan Pat Kwa (keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).
Perpaduan Gaya Tiongkok dan Arab memang menjadi ciri khas masjid ini. Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari Bojonegoro.
MASJID AL - AKBAR
Masjid Nasional Al Akbar (atau biasa disebut Masjid Agung Surabaya) ialah masjid terbesar kedua di Indonesia yang berlokasi di Kota Surabaya, Jawa Timur setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Posisi masjid ini berada di samping Jalan Tol Surabaya-Porong. Ciri yang mudah dilihat adalah kubahnya yang besar didampingi 4 kubah kecil yang berwarna biru. Serta memiliki satu menara yang tingginya 99 meter.Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena krisis moneter pembangunannya dihentikan sementara waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan selesai tahun 2001. Pada 10 November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid.
Secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.
Rancang bangun arsitektur MAS dikerjakan oleh tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bersama konsultan ahli yang telah berpengalaman membangun masjid-masjid besar di Indonesia. Mengingat posisi lahan yang labil dengan tingkat kekerasan yang minim, maka pembuatan pondasi dilakukan dengan system pondasi dalam atau pakubumi. Tidak kurang dari 2000 tiang pancang bagi pondasi masjid ini.
Lantai dirancang dengan ketinggian 3 meter dari permukaan jalan sekitar lokasi. Namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami perubahan, ruang urugan dijadikan basement, lantai diatas basement (lantai 1) disangga dengan tiang-tiang (sistem flooting floor). Pengerjaan lantai dibuat dengan sistem pengecoran ditempat dan beton precast, terdiri dari plat lantai empat persegi panjang berukuran 3 x 3 meter dan tebal 15 cm.
Untuk dudukan struktur atap disiapkan, balok beton (ringbalk) dengan sistem vierendeel yang menghubungkan kolom-kolom struktur pada ketinggian 20 m dari atas lantai dasar (lantai 1). Ringbalk ini membentang 30 m tanpa kolom, sehingga bidang lantai tidak terpisah oleh sekat maupun kolom, dengan demikian dijamin bahwa jamaah tidak saling terpisah oleh sekat maupun kolom pada waktu sholat.
Rangka kubah dibuat dengan sistem space frame, menggunakan bahan besi baja dengan sistem chremona atau struktur segitiga yang disambung-sambung. Selanjutnya kubah dibentuk di atas rangka atap dengan bentangan utama berukuran 54 x 54 meter, tanpa ada tiang penyangga. Bobot kubah tersebut hampir mencapai 200 ton. Keunikan bentuk kubah ini ditunjang dengan bentuk kubah yang menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer memiliki tinggi sekitar 27 meter. Kubah ini menumpu pada atap piramida terpancung dalam 2 layer setinggi kurang lebih 11 meter.
Penutup struktur rangka atap dan kubah terdiri dari tiga lapis yaitu Atap Kedap Air (AKA), ESP sebagai cover atap terluar, dan penutup plafon. AKA ini adalah dalam bentuk segmen-segmen yang menumpu pada konstruksi space frame yang ada dibawahnya. Sedangkan ESP adalah Enamel Sheet Panel merupakan plat baja yang dicoating atau diwarnai, kemudian dipanaskan hingga 800 derajat Celcius, selanjutnya plat dipotong-potong dengan ukuran tertentu dan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan ukurannya yang pada akhirnya berfungsi sebagai cover penutup atap. ESP ini didesain khusus untuk atap Masjid Nasional Al Akbar Surabaya dengan kemampuan tahan panas dan hujan serta tahan karat, diharapkan akan mampu berfungsi sampai 50 tahun lebih. Kemudian penutup rangka bawah yang berfungsi sebagai plafon ditutup dengan bahan kedap suara, sehingga akustik pada bangunan ini didesain dengan sangat memadai. Kesemuanya elemen penutup rangka atap tersebut telah teradopsi dari Masjid Raya Selangor di Syah Alam, Malaysia.
Masjid ini memiliki 45 pintu dengan daun pintu (bukaan) ganda yang berarti dibutuhkan 90 daun pintu dengan ukuran masing-masing : lebar 1,5 m dan tinggi 4,5 m. Pintu terbuat dari kayu jati yang didatangkan khusus dari Perhutani dan dibuat oleh para pengrajin dari Surabaya. Kusen terbuat dari rangka besi dilapisi kayu yang dihubungkan ke engsel maupun slot yang telah diselaraskan dengan struktur dan estetika masjid. Karena berat daun pintu ini lebih dari 250 kg, maka engsel didesain dan dibuat secara khusus.
Untuk memenuhi kenyamanan, estetika serta keserasian keseluruhan bangunan masjid, maka marmer dari Lampung dipilih untuk pelapis dinding dan lantai ruang dalam masjid, sehingga dukungan dari lantai terasa sekali ruangan menjadi sejuk dan kusuk. Kaligrafi merupakan unsur penting dalam desain masjid ini, karena sentuhan kaligrafi inilah yang memberi sentuhan nuansa Islami. Bahan yang digunakan untuk kaligrafi tersebut terbuat dari kayu jati dengan finishing cat sistem ducco. Sedangkan perancangnya adalah seorang ahli kaligrafi nasional yaitu Bapak Faiz dari Bangil. Mimbar dibuat dengan ketinggian 3 meter untuk mendukung kemantapan khotbah. Agar tercipta suasana khas, mimbar diberi sentuhan etnis dengan hiasan ornamen Madura yang digarap para pengrajin dari Madura.Dalam rancangannya menara tadinya berjumlah 6 buah, namun karena pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis maupun biaya, maka menara hanya dibuat satu. Untuk membangun menara masjid ini digunakan teknologi Slip Form dari Singapura yang memerlukan waktu sekitar 2 bulan dalam pengecorannya. Menara ini memiliki ketinggian 99 meter yang puncaknya dilengkapi dengan view tower pada ketinggian 68 meter yang dapat memuat sekitar 30 orang dan pencapainnya dengan menggunakan lift untuk melihat pemandangan kota Surabaya.
Aula dibangun dengan konsep kesatuan antara estetika lingkungan dan fungsi plaza sebagai lapangan ibadah, untuk ibadah tertentu seperti sholat Ied dan lain-lain. Luas plaza kurang lebih 520 m2, dengan bahan lantai paving stone, yang didesain khusus untuk Masjid Nasional Al Akbar Surabaya, motif desain dibuat sesuai dengan ornamen arsitektur masjid, garis motif dibuat sejajar dengan garis shaf di halaman masjid.
Elemen arsitektur MAS juga didesain sedemikian rupa, untuk mencapai keindahan, kemewahan serta keanggunan. Antara lain elemen hiasan kaca patri (steined glass). Hiasan kaca patri yang digunakan masjid ini dibuat dengan sistem triple glazed unit. Yaitu pelapisan panel kaca patri atau panel bevel dengan kaca tempered yang menggunakan bahan dan mesin-mesin buatan Amerika. Triple glazed unit ini selain menghemat biaya, juga sangat baik untuk keperluan peredam suara bising.
MONUMEN BAMBU RUNCING
Bambu runcing adalah sebuah senjata yang terbuat dari bahan baku bambu yang diruncingkan. Senjata ini dahulu konon digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai alat perlawanan melawan penjajahan kolonialis Belanda.Pada saat ini lambang bambu runcing banyak digunakan oleh berbagai daerah di Indonesia untuk melambangkan keberanian dan pengorbanan dalam meraih kemerdekaan.
Salah satu tokohnya yaitu K.H. Subchi dari Parakan, Temanggung yang dikenal dengan gelar Jenderal Bambu Runcing. Ia sebagai penasehat BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang kemudian dikenal menjadi Barisan Bambu Runcing.
Pencetus gerakan perjuangan dengan senjata bambu runcing, dalam pengertian sebagai senjata perjuangan yang bersifat massal dan nasional, sampai saat ini memang belumlah sangat jelas. Senjata Bambu Runcing pernah di pakai latihan ketentaraan Seinendan pada zaman Jepang. Tetapi khusus penggunaan senjata Bambu Runcing dengan doa, pengisian tenaga dalam, memang hal ini secara tegas dapat dikatakan, di mulai dai Parakan, Temanggung. Siapa para kiai yang terlibat ada beragam pandangan. Namun semua mengerucut kepada tokoh penting di Parakan yakni K.H. Subkhi (Subuki) dan K.H.R Sumo Gunardo, dan para kiai lain di Parakan dan Temanggung seperti K.H. M Ali (pengasuh pesantren tertua di Parakan), K.H. Abdurrahman, K.H. Nawawi, K.H. Istakhori dan kelanjutannya juga KH. Mandzur dari Temanggung dan berbagai kiai di NU Temangggung, khususnya MWC Parakan.
Senjata Bambu Runcing digunakan sebagai alat perjuangan, berangkat dari ketiadaan, kekurangan peralatan perang yang tersedia, sementara perjuangan harus dilanjutkan terutama setelah Indonesia merdeka. Musuh Indonesia setelah proklamasi menjadi sangat banyak dan dengan kekuatan besar, Jepang yang masih bercokol, Belanda yang ingin menguasai lagi dan Sekutu yang juga akan menjajah menggantikan Jepang dan Belanda. Maka praktis, keperluan persenjataan yang di butuhkan. Bambu Runcing dan peralatan tradisional lain menjadi alternatif, murah dan bersifat massal. Kekuatan doa menjadi faktor utama kekuatan alat-alat tradisional tersebut.
Ternyata dalam realitas sejarah, perjuangan dengan menggunakan senjata bambu runcing, terjadi pada hampir semua medan perang. Lasykar-lasykar rakyat BKR, AMRI, Hizbullah, Sabilillah dan sebagainya yang terlibat pada pertempuran di berbagai peristiwa, menggunakan senjata Bambu Runcing sebagai senjata utama, sebelum mereka mampu merebut senjata musuh.
Peninggalan-peninggalan sejarah Bambu Runcing khusus yang berhubungan dengan Bambu Runcing Parakan bisa dilacak ke tempat, atau para kiai yang pernah terlibat dalam berbagai peristiwa Bambu Runcing. Sampai sekarang Rumah KH. Subkhi masih berdiri dan berbagai peninggalannya, Rumah KH. R Sumo Gunardo masih adan juga beberapa peninggalanya, ada yang di Museum Monjali (Monumen Jogja Kembali), Pondok Pesantren KH. M. Ali sampai sekarang masih berdiri dan terus berkembang. Bekas kantor BMT dan pusat penyepuhan walaupun telah berubah, namun jejak-jejaknya masih ada. Dan khusus sumur yang sering di ambil airnya untuk penyepuhan Bambu Runcing juga masih ada. Khusus di Temanggung bahkan tempat Kiai Mandzur di kenal dengan Mujahidin, samapi sekarang menjadi pusat kegiatan Tarekat.
Perjuangan bersenjata yang melibatkan senjata Bambu Runcing oleh berbagai lasykar rakyat dalam perjuangan kemerdekaan sangat jelas dan nyata. Bahkan selama masa setelah Proklamasi Kemerdekaan dengan musuh utama Jepang, Belanda dan Sekutu, di mana pada saat itu bangsa Indonesia belum memiliki cukup senjata, maka Bambu Runcing menjadi senjata massal rakyat Indonesia. Kepemlikan senjata modern oleh rakyat, setelah mampu merebut dari senjata musuh terutama dari Jepang yang telah menyerah.
KLENTENG HONG TIEN HIAN
Kelenteng
Hong Tiek Hian yang juga dikenal dengan nama Kelenteng Jalan Dukuh, sempat
terlewati sehingga mobil parkir agak jauh dari kelenteng, dan kami berjalan
kaki menuju kelenteng. Kelenteng Hong Tiek Hian praktis tidak memiliki halaman,
terdiri dari dua bangunan berdekatan yang dipisahkan oleh sebuah gang.
Kami
masuk ke dalam Kelenteng Hong Tiek Hian melalui gang tersebut, yaitu Jl Dukuh
GG.II. Mula-mula masuk ke bangunan kelenteng yang berada di sebelah kiri gang,
dan lalu menyeberang gang dan masuk ke bangunan kelenteng yang kedua.
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan menara tempat
pembakaran kertas sembahyang (Kim Lo) di sebelah kiri dan sebuah gapura
bertuliskan huruf Cina di bagian depan. Ornamen-ornamen kelenteng menghiasi
tepi kiri kanan gang II di Jalan Dukuh ini.
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan ukiran sepasang
naga yang tengah berebut mustika alam semesta yang tengah menyala, matahari.
Ukiran naga selalu ada di sebuah kelenteng yang dipercaya berfungsi sebagai
penolak roh jahat.
Kelenteng Hong Tiek Hian ketika seorang wanita
tengah menyalakan sebatang hio dengan menggunakan nyala api lilin di dekat
sebuah altar sembahyang.
Hio
digunakan sebagai medium untuk melakukan kontak dengan para arwah yang dipuja.
Jika asap hio yang dibakar arahnya lurus ke atas, maka doa yang dipanjatkan
konon langsung diterima.
Kelenteng Hong Tiek Hian adalah kelenteng
pertama dari semua kelenteng yang pernah saya kunjungi yang tengah memainkan
wayang Pho Tee Hi ketika saya berkunjung.
Saya
sempat berdiri agak lama di depan tempat pentas wayang Pho Tee Hi ini, yang
cara memainkannya menyerupai boneka si Unyil, namun sayang tidak bisa menangkap
jalan ceritanya.
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan batang-batang
hio tertancap di sebuah hio lo berbentuk trapesium. Kebanyakan hio lo yang saya
jumpai berbentuk bulat, dengan ukiran naga di kanan kirinya.
Hio
lo yang diletakkan di depan pintu kelenteng biasanya adalah hio lo Thian
(Tuhan), yang berkaki tiga, berbentuk bulat dan berukir naga. Hio lo Thian ini
harus digantung atau diletakkan pada sebuah alas yang lebih tinggi posisinya
dari lantai pada bangunan utama kelenteng.
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan pilar-pilar naga,
lampu minyak, deretan tempat-tempat lilin berbentuk bulat, dan pernak-pernik
kelenteng lainnya.
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan sepasang pilar
naga hijau dan sepasang burung hong berhadapan mengapit mustika matahari yang
menyala.
Burung
Hong, yang lahir kembali dari abunya setelah tua dan terbakar sendiri, memiliki
jengger ayam jantan, paruh burung layang-layang, ekor merak yang menjumbai,
dengan bulu-bulu yang sangat indah. Konon Burung Hong hanya muncul ketika
negara dalam keadaan makmur sentosa dan diperintah oleh seorang raja adil.
Lima
warna bulu Burung Hong melambangkan lima pokok kebajikan dalam agama Konghucu,
yaitu Cinta Kasih (Jien), Menjunjung Kebenaran (Gi), Memiliki Kesusilaan (Lee),
Bijaksana / Cerdas (Ti), dan Dapat Dipercaya (Sien).
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan dua arca dewa
yang berada di pintu masuk ke bangunan yang berada di sebelah kanan, serta
tulisan Cina yang diapit sepasang naga emas di atasnya.
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan patung-patung
dewa bersenjatakan berbagai jenis tombak dan pedang di kiri kanan lorong. Hio
lo terdapat di depan masing-masing patung ini.
Kelenteng Hong Tiek Hian dengan deretan lilin
menyala warna merah berukuran sangat besar. Posisi kiri kanan melambangkan
keseimbangan Yin Yang, dan lilin melambangkan penerangan batin, sehingga harus
selalu menyala sepanjang waktu. Warna merah, warna darah manusia, melambangkan
kehidupan.
Kelenteng
Hong Tiek Hian merupakan kelenteng tertua di Kota Surabaya, dibangun oleh
Pasukan Tar-Tar yang melakukan ekspedisi ke Nusantara ketika Khu Bilai Khan
berkuasa. Hancurnya Kerajaan Kediri oleh Pasukan Tar Tar ini menghilangkan
ancaman bagi Majapahit yang belum lama didirikan oleh Raden Wijaya. Pasukan Tar
Tar sendiri kemudian berhasil diusir oleh Pasukan Majapahit. Cerita menarik tentang
Raden Wijaya dan Pasukan Tar Tar bisa dibaca di blog Suparo Brata.
Klenteng Hong Tiek Hian
Jl
Dukuh GG.II/ 2 dan Jl Dukuh N0.23/ ISurabaya
GPS -7.23729, 112.74393
PURA JAGAT KARANA
Pura Agung Jagat Karana adalah tempat ibadah untuk umat Hindu yang
berada di Surabaya. Pura ini diresmikan pertama kali oleh Kepala Staf
KODAMAR V Komodor Laut R. Sahiran pada tanggal 29 November 1969,
tepatnya pada hari Saraswati.
Pura ini terletak di jalan Lumba-Lumba No. 1 Surabaya.
Pura ini telah mengalami pemugaran dan diresmikan penggunaannya pada
tanggal 26 Sepetember 1987. Di atas pura tersebut tertulis sebuah
prasasti berbunyi :
Karya Agung Lenteg LinggihPura Agung Jagat Karana
Saniscara Umanis Watugunung
tang . ping 3 sasih kapat 1909 C
Bale manusya yadnya
PATUNG JOKO DOLOG
PELABUHAN KALIMAS
Pelabuhan Kalimas adalah sebuah pelabuhan tradisional di Kota Surabaya
yang sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat bongkar/muat
barang-barang, terutama dari kapal-kapal kayu, tongkang-tongkang dan
perahu-perahu. Pelabuhan ini cukup menarik untuk dikunjungi karena masih
adanya kapal-kapal tradisional (kapal kayu) yang menjadi sarana
transportasi perdagangan.Surabaya adalah sebuah kota yang selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda maka dengan sendirinya bentuk bangunan banyak dipengaruhi oleh gaya Eropa. Di negeri Belanda sendiri banyak memiliki kanal. Lantaran banyak memiliki saluran, tentu saja disana sini banyak dibangun jembatan. Mulai dari jembatan biasa, jembatan gantung hingga ophaalburg atau jembatan angkat. Surabaya juga dirancang hampir sama walaupun kanal-kanal di Surabaya tidak sebanyak di Belanda.
Tempo dulu, kapal-kapal dagang berukuran besar hanya bisa berlalu di Selat Madura saja tapi agak mendekati perairan Surabaya. Lantas, untuk membongkar atau memuat barang-barang kargonya digunakanlah tongkang-tongkang atau kapal-kapal kecil. Setelah kapal-kapal kecil itu memuat barang di tengah laut, dengan gesitnya kapal-kapal itu menelusuri Sungai Kalimas hingga mencapai pelabuhan utama yang pada waktu itu merupakan pelabuhan Kota Surabaya.
Lokasi pelabuhan utama tersebut merupakan jantung perdagangan kota Surabaya. Dekat dengan pelabuhan tersebut ada sebuah jalan bernama Heeresentraat (sekarang berada disekitar Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun) yang merupakan sentral bisnis bongkar muat. Di antara kedua jalan itu, sudah ada jembatan yang membentang di atas Sungai Kalimas. Jembatan itulah yang disebut Roode Brug atau Jembatan Merah.
Kala itu Pelabuhan Tanjung Perak belum ada, sementara pelabuhan lautnya berada di muara Sungai Kalimas. Daerah sepanjang Kalimas terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Westerkade Kalimas (sebelah Barat Kalimas) dan Osterkade Kalimas (sebelah Timur Kalimas), atau biasa disebut warga Surabaya daerah kulon kali dan wetan kali. Daerah wetan kali merupakan daerah perdagangan, mulai dari Kembang Jepun, Cantikan, Kapasan, hingga kearah utara Jalan K.H. Mansyur (Pegirian, Nyamplungan dan lain sebagainya). Yang termasuk daerah kulon kali antara lain jalan Gresik, Kalisosok dan disekitar Tanjung Perak Barat.
MONUMEN JALESVEVA JAYAMAHE
Monumen itu tampak berdiri dengan gagahnya. Monumen yang menggambarkan sosok Perwira TNI Angkatan Laut dengan berpakaian lengkap (Tenue PDU I)
dan mengenakan pedang kehormatan sedang menatap ke arah laut. Dengan
nuansa yang berwarna agak kehijauan menjadikan monumen ini seolah
bercahaya karena pendaran sinar yang mengenai permukaannya. Semakin
menambah kemegahan monumen itu.Monumen itu adalah Monumen Jalesveva Jayamahe yang juga biasa disebut dengan nama Monjaya. Monumen ini merupakan “tetenger” dilaksanakannya tongkat estafet dari
generasi baru untuk menyelesaikan tugas kepada generasi berikutnya.
Bangunan yang berada di kawasan Markas Komando RI Armada Kawasan Timur - Ujung Surabaya dan di sebelah barat dermaga Madura ini, juga dapat di gunakan sebagai menara lampu pemandu (mercusuar) bagi kapal-kapal yang berlayar di sekitarnya.Tak mudah untuk bisa berkunjung ke lokasinya karena merupakan kawasan militer sehingga membutuhkan perizinan yang cukup ketat, kecuali dalam hari dan acara tertentu. Begitu juga tak bisa sembarangan membawa kamera untuk memotret suasana di sana.Saya merasa beruntung bisa berkunjung kesana ketika mengadakan liputan Hari Armada 2012 pada tgl 5 Desember 2012. Setelah upacara tersebut usai, saya segera menuju ke Monumen Jalesveva Jayamahe. Dalam perjalanan, saya menjumpai konvoi beberapa motor gede yang mengawal pejabat militer sedang melintas.Beberapa anak yang disertai dengan orang tuanya juga tampak menuju kesana. Di bagian depan monumen ini terdapat gamelan tradisional berupa Gong yang ukurannya yang sangat besar.
Gong yang diberi nama Kyai Tentrem itu di buat dengan menggunakan bahan logam kuningan yang di lapisi anti karat “cotting”.Gong seberat 2,2 ton ini memiliki ketebalan 6 mm, dan berdiameter 5m. Pembuatnya adalah perajin gamelan home industry pimpinan Sutarjo dari Desa Pelemlor, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Bangunan yang berada di kawasan Markas Komando RI Armada Kawasan Timur - Ujung Surabaya dan di sebelah barat dermaga Madura ini, juga dapat di gunakan sebagai menara lampu pemandu (mercusuar) bagi kapal-kapal yang berlayar di sekitarnya.Tak mudah untuk bisa berkunjung ke lokasinya karena merupakan kawasan militer sehingga membutuhkan perizinan yang cukup ketat, kecuali dalam hari dan acara tertentu. Begitu juga tak bisa sembarangan membawa kamera untuk memotret suasana di sana.Saya merasa beruntung bisa berkunjung kesana ketika mengadakan liputan Hari Armada 2012 pada tgl 5 Desember 2012. Setelah upacara tersebut usai, saya segera menuju ke Monumen Jalesveva Jayamahe. Dalam perjalanan, saya menjumpai konvoi beberapa motor gede yang mengawal pejabat militer sedang melintas.Beberapa anak yang disertai dengan orang tuanya juga tampak menuju kesana. Di bagian depan monumen ini terdapat gamelan tradisional berupa Gong yang ukurannya yang sangat besar.
Gong yang diberi nama Kyai Tentrem itu di buat dengan menggunakan bahan logam kuningan yang di lapisi anti karat “cotting”.Gong seberat 2,2 ton ini memiliki ketebalan 6 mm, dan berdiameter 5m. Pembuatnya adalah perajin gamelan home industry pimpinan Sutarjo dari Desa Pelemlor, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Dari halaman luar, saya mengamati dan mengagumi kemegahan monumen Jalesveva Jayamahe.Patung
dengan tinggi 31 meter ini berdiri di atas gedung setinggi 29 meter.
Pada bagian dinding gedung terdapat diorama sejarah kepahlawanan
pejuang-pejuang bahari sejak jaman pra-revolusi fisik sampai tahun
1990-an. Monjaya di bangun pada tahun 1990 dengan dana pembangunan Rp 29 Miliyar dan diresmikan pada tanggal 5 Desember 1996
oleh Presiden Soeharto.